Teluk Paku dan Kelumbayan selalu mebuat kami kangen dan selalu ingin mengunjunginya. Walau perjalanan lumayan berat dengan menggunakan motor, tetap kami jalani. Selain ada banyak pemandangan indah, penduduk pesisirnya cukup ramah bagi para pendatang yang sekedar ingin jalan-jalan. Membuat kami mempunyai beberapa kenalan sekarang yang bisa disambangai kapan saja kami datang 😀
Perjalanan ke Teluk Paku dan Kelumbayan kali ini (11-09-2011), kami mencoba melewati rute atas melalui Kluih. berdasarkan GPS yang Budhi Marta bawa, ternyata jalur ini memang cukup singkat menuju Teluk Paku, tetapi jalannya cukup berat untuk dilalui kendaraan roda dua dan empat. Jalur kesukaan kami tetap melalui Padang Cermin dan Bawang (kalau mau ke Kelumbayan saja).
Video Gigi Hiu
Foto-foto:
Batu Nyerbu dengan latar depan derasnya gelombang.
Rombongan keluarga dari Gisting di Teluk Paku
foto diri berdua di Teluk Paku
Teluk Paku dilihat dari sisi kiri
Teluk Paku dilihat dari sisi kiri
Warung di pantai Teluk Paku
Ibu pemilik warung Teluk Paku
Dusun Paku
Bunga di dusun Paku
lepet khas pesisir Lampung
Ombak Batu Nyerbu
menolong seorang pemuda yang terjatuh dari maotornya di tanjakan antara Batu Suluh dan Pegadung
seorang ibu dan 3 anaknya memilih-milih batu hitam sesuai ukuran pemesan
Saya masih ingat seminggu sebelum ke Kelumbayan, kami mengumumkan trip ini di wall facebook BE-PFL dan juga di twitter. Tanggapannya bermacam-macam dan ada beberapa yang daftar. Hari H berangkat kumpul di lapangan Saburai hanya ada saya dan Budhi, kang Maman (Rudi Huang) menunggu di Hanura. Paling tidak kami sudah mengajak ya… 😉
Disinilah kami bertiga sekarang.
Subuh ini setelah tidur pulas di kasur yang empuk, kami bertiga pun merebus mie dan tempe kembali. Tak lupa setelah itu minum kopi Sekura yang dibawa Budhi. Kopi yang saya bawa ga laku 😀
Tujuan kami hari ini adalah Teluk Paku, teluk keempat setelah teluk Kiluan (nanti cek lagi bener ga). Mendatangi tempat yang tidak kita tahu sama sekali, ada apa dan siapa disana. What an amazing trip!
Pak Jaelani keluar rumahnya agak pagi hari ini. Maka kami pun pamitan dan menitip barang bawaan supaya lebih nyaman dan aman berkendaraan ke Teluk Paku.
Mampir di rumah kepala desa, kami bertiga bergegas ke pantai di balik bukit. Hanya 15 menit dari rumah pak kepala desa. Naik dan turun bukitnya kami disuguhi pantai yang indah tanpa orang lain selain kami. Sekitar 1 jam disitu tanpa mengeluarkan kamera, hanya melepas sandal, memasukkan kaki ke air laut dan duduk-duduk.
Melanjutkan perjalanan dari rumah pak kepala desa, kami langsung disuguhi tanjakan panjang yang lumayan sudut kemiringannya. Oya, kepala desa bilang “hati-hati di tanjakan ke Paku, curam dan banyak batu lepas”. Tanjakan pertama ini belum seberapa lho…
Sampai di kampung Kelumbayan Bawah, kami harus menyeberangi muara sungai dengan rakit. Sempat mampir di pantai yang ada di perkampungan, kami berhenti sejenak di salah satu toko kelontong. Ada penjahit ibu-ibu di situ, dan cucunya yang bernama Aura. Kelak, Aura juga difoto oleh kawan-kawan yang berkunjung kemari.
Seorang penjahit wanita di Kelumbayan Bawah, NapalAura cucu si penjahit (baju kuning) bersama kawannya
Puas foto-foto si ibu penjahit, kami menuju teluk Paku. Keluar dari kampung Kelumbayan Bawah, setelah melewati jembatan besi namun alasnya hanya kayu, kami sudah menjumpai tanjakan yang lebih curam daripada tanjakan sebelumnya. Pas membawa motor satu orang satu dan bukan motor matic 😀
Setelah tanjakan dan turunan maut, kami tiba di desa Paku, nampak tidak ada kegiatan disini. kampung lengang hanya ada beberapa ibu yang hilir mudik di pekarangan.
Melewati masjid, disinilah rupanya ada keramaian. Masyarakat sedang bergotongroyong membangun satu rumah penduduk yang baru pindah. Ada semacam upacara kecil disini. Mampir, disapa dengan ramah, diajak makan, disediakan kopi dan tentu saja foto-foto.
“Wartawan darimana?”, mereka penasaran. “Bukan, kami hanya hobi fotografi. Senang jalan ke pelosok cari foto”. Itu salahsatu percakapan awal disana. Tidak boleh bohong. Lagipula mereka tidak keberatan kita foto. Malah kalau bisa ajak temen-teman yang lain kesitu mereka minta.
Ya… Dusun terpencil jauh dari Bandar Lampung. Mereka sangat senang kedatangan tamu dari kota yang membawa kamera dan berharap kehidupan mereka dapat dilihat oleh kawan dan saudara di kota.
Perut kenyang terisi makanan lezat ala kampung dan 2 gelas kopi hangat yang sungguh nikmat.
“Mau foto apa lagi? disini ada kegiatan masyarakat yang menambang batu hitam di pantai. yuuk kita antar…”
Ternyata setelah batu-batu hitam untuk taman di Lampung Barat mulai menipis pasokannya, batu-batu itu dikirim juga dari sini ke Bandar Lampung.
Ada beberapa orang / keluarga yang saat itu sedang mengumpulkan batu di pantai, bahkan ada yang mengajak istri dan anak. Kegiatan sehari-hari bersahaja yang ceria. Tanpa ada rasa sungkan beberapa dari mereka malah minta difoto, sedangakan ibu-ibu dan anak perempuan malu-malu saat kita mengarahkan kamera ke mereka.
Selanjutnya menuju Batu Serbu. Batu karang yang ada lubangnya, sehingga air laut yang masuk di rongga di bawahnya menyembur dengan kencang ke atas melalui lubang tersebut. Sayang saat itu sedang tidak nyembur dan tidak kita foto. Ada juga karang berbentuk naga disini yang juga tidak kita foto. difoto nanti saja kali berikutnya kemari.
“Tanggung, sekalian yuuk ke Teluk Umbar. ada apa disana”, Budhi bilang. hohohoho….. Tanjakan dan turunannya paling parah, curammnya minta ampun dahsyat dan banyak “batu lepas”.
Jalanan cuma tanah yang dipadatkan dan berpasir dan banyak batu-batu kecil yang beterbangan kalau ada kendaraan melintas, makanya dinamakan batu lepas. Motor harus berhenti dan masuk gigi 1, kalau mau memasuki turunan. Kalau tidak… bisa bablas menghantam tebing atau masuk ke jurang.
Sampai di Teluknya yang terlihat indah dari atas bukit, kami hanya bisa mengomel dalam hati. Teluknya yang indah tercemari oleh keberadaan tambak udang yang lumayan luas. Ya.. ada tambak udang disitu, jauh di daerah terpencil yang indah.
Tak mau berlama-lama kami balik kanan kembali ke Batu Suluh untuk pulang. Tak lupa mampir di kali jernihnya dan mandi-mandi menyegarkan badan, ngopi dan mengabiskan roti yang ada.
Kembali ke Bandar Lampung. Lelah tapi pikiran jadi segar. Kami akan kembali ke Kelumbayan.
seorang ibu dan 3 anaknya memilih-milih batu hitam sesuai ukuran pemesan
Seorang penjahit wanita di Kelumbayan Bawah, Napal
Aura cucu si penjahit (baju kuning) bersama kawannya
Pesawahan Kelumbayan dilihat dari atas bukit
Anak-anak Dusun Paku duduk dan bergaya saat saya melintas 🙂
Ibu pengumpul batu teluk paku
bapak pengumpul batu teluk paku
Ibu pengumpul batu teluk Paku
Ibu-ibu pengumpul batu teluk Paku
berjalan setelah mengumpulkan batu di pantai untuk diserahkan kepada bagian pemilihan ukuran batu.
berjalan setelah mengumpulkan batu di pantai untuk diserahkan kepada bagian pemilihan ukuran batu.
Bersiap-siap menuju teluk Umbar
berjalan setelah mengumpulkan batu di pantai untuk diserahkan kepada bagian pemilihan ukuran batu.
Anak teluk Paku di antara jukung-jukung
Ibu dan anak bersama mencari batu
pengumpul batu
ramai-ramai mencari batu
namaku Anda, anak dusun Paku
Bingkisan untuk dibawa pulang setelah bergotong royong membangun rumah sesama warga dusun Paku
makan bersama setelah bergotong royong
memamerkan duit yang didapat setelah dilempar dari atas rangka rumah
salah satu budaya setempat – melempar duit logam ke anak-anak saat selesai membuat rangka rumah
Kelumbayan – Satu nama tempat di Kabupaten Tanggamus, Lampung yang asing bagi saya. Tidak tahu terletak dimana, harus lewat mana, ada apa saja disana. Benar-benar kosong di pikiran. Andai saja seorang pelukis Lampung tidak mengajak saya untuk jalan kesana dengan motor, mungkin sampai hari ini saya tidak akan tahu dan tidak akan pernah berkunjung kesana sampai hari ini.
Pada kunjungan pertama ke Kelumbayan, saya beserta si pelukis dan dua orang lain berangkat lewat Gedong Tataan yang ternyata memakan waktu 1 jam lebih lama jika kita lewat Hanura.
Kali kedua kesana bersama teman foto (Budhi Marta Utama dan Rudi Huang) 26 Maret 2011, kami tak mau berlama-lama di jalan, lewat Hanura. Berangkat jam 9 pagi dari Bandar Lampung, sebelum tengah hari kami bertiga sudah sampai di pertigaan turunan ke teluk Kiluan.
Mampir sebentar di satu rumah panggung Kampung Batu Suluh, kenalan dengan seorang ibu minta izin untuk bisa menginap di rumahnya di malam hari. sang ibu bilang tidak ada masalah, ia dan suaminya bakal senang kedatangan tamu malam ini. Masih ada keramahan di pelosok daerah 🙂
Siang itu kami menuju ke Pantai Pegadung, pantai yang sebelumnya pernah saya datangi bersama Budhi dan kawan pelukis pada 8 Maret 2011. Ngopi sejenak di Pegadung. Masak air dengan kompor mini yang dibawa oleh kang Rudi – thanks bro 🙂
Pada kunjungan pertama kami di Pegadung, kami tidak mengambil foto serius, sengaja hanya melihat-lihat dulu. Kunjungan kali inilah saatnya kami ambil foto-foto. Luar biasa scene batu-batu karang disini. Oleh Budhi batu-batu karang itu dinamakan “Gigi Hiu“. Penduduk sekitar menamakannya Batu Layar. Nama Batu Layar ada dimana-mana. Pas dinamakan Gigi Hiu untuk membedakan 🙂
Panas terik tengah hari begitu menyengat kulit, tapi tak terlalu kami hiraukan. Tak terasa sudah beberapa jam di situ. Beberapa foto sudah tersimpan di memori kamera. Tak sabar rasanya untuk segera kami sharing ke teman-teman lain.
Kembali ke Batu Suluh, kami berjumpa dengan suami ibu tadi. Basa-basi sejenak saling berkenalan. Duduk-duduk di teras rumah panggung kecilnya sambil menyeruput kopi panas rasa jahe. Nikmatnya tinggal di kampung yang jauh dari kota.
Mandi dimana? Itu yang sempat terpikir oleh saya. Bukankah sebelum sampai di Batu Suluh ada satu Kali yang jernih yang memotong jalan utama menuju kampung ini….! OK, kami mandi disitu. Jangan ditanya seperti apa segarnya mandi di antara batu-batu besar sambil mendengar suara gemericik air yang mengalir. Kami membayangkan ada bidadari yang mandi disitu 😀
Untuk makan malam kali ini, saya dan Budhi berterimakasih lagi ke kang Maman. dengan panci kecilnya ternyata bisa menanak nasi dan merebus mie campur tempe dan pete. Cukup untuk 3 orang yang porsi makannya di atas normal. Setelahnya kembali disuguhi kopi oleh tuan rumah. Ngobrol dengan penduduk yang datang dan penasaran siapa kami sebenarnya. Dengan keramahtamahan mereka kami merasa nyaman malam itu.
Sudah membayangkan tidur di beranda rumah panggungnya di udara terbuka, ternyata tuan rumah sudah menyiapkan 3 kasur di dalam. Tak sanggup menolak kami pun tidur di dalam. Pulas tidur. Suara ngorok terdengar bersautan bergantian dengan suara jangkrik dan deburan ombak di kejauhan.
Merasakan segarnya kali jernih sebelum Batu Suluh
Budhi memotret di atas salah satu karang.
Kang Maman mengamati ombak besar yang menghantam karang
Foto diri di atas Gigi Hiu
ngopi dan makan makanan ringan setelah mandi
Gigi Hiu
—-
Catatan:
sekitar 90 km
Aman
Jalan banyak rusak
Makanan sebaiknya bawa sendiri
Kalau naik motor sebaiknya motor non matic dan tidak boncengan
Score 6 (score 1 susah dituju dan kemungkinan besar nyasar – score 10 mudah dicapai)
Bisa pergi subuh pulang sore
Direkomendasikan untuk yang hobi fotografi (lanskap, HI, budaya)